Sabtu, 31 Mei 2008

Tribudi dan 20 Tahun Lalu

MASA lalu adalah pengalaman, itulah sepenggal kalimat yang saya kutip dari tulisan Iwan. Ada orang berpendapat untuk apa mengingat masa lalu toh sudah berlalu dan hanya buang buang waktu saja. Namun menurut saya ada hikmah yang bisa kita ambil dari pengalaman itu.

B
icara mengenai masa lalu saya mencoba menulis pengalaman 20 tahun yang lalu tepatnya tanggal 21 Mei 1988. Anggap saja saya ingin merasakan menjadi tiyang buruh ngetik, terlepas apakah tulisan saya memenuhi unsur jurnalis atau tidak.

Paling tidak saya ingin
menuangkan sedikit cerita pengalaman masa lalu ke milis ini dan semoga ada hikmah yang bisa kita petik. Yach, selain untuk meramaikan, saya anggap milis ini semacam buku mingguan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup saya saat ini.

Bicara mengenai tanggal 21 Mei, pasti semua ingat saat Presiden Soeharto mengundurkan diri tahun 1998 (10 tahun silam). Namun tanggal 21 Mei 1988 (20 tahun silam) merupakan tanggal bersejarah (kalau boleh dikatakan) bagi kehidupan saya pribadi. Pada tanggal tersebut beberapa hari setelah lebaran tahun 1988, saya mulai mencoba mengadu nasib datang di Jakarta.

Inilah kedatangan saya ke Jakarta yang kedua setelah kedatangan pertama kali bersama rombongan teman teman SMA 2 saat widyawisata. Berbeda dengan kedatangan yang pertama dalam suasana ceria, berekreasi walau dalam bingkai widyawisata bersama teman teman, maka kedatangan yang kedua dalam suasana yang penuh ketidakpastian dan kecemasan.

Saya datang mencoba menggapai masa depan (ceile gaya’nya) setelah hampir 1 tahun sejak lulus SMA tahun 1987 menganggur dan menjadi ibu rumah tangga (he he he maksudnya di rumah terus menemani ibu masak, menimba air, mengepel dan pekerjaan sejenisnya). Ya, mengganggur . . . . . suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh semua orang. Namun kondisi itulah yang harus saya terima setelah lulus SMA tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan tidak mampu secara financial melanjutkan di Perguruan Tinggi Swasta.

Saya datang ke Jakarta untuk mencari sekolah yang berbea siswa atau ikatan dinas. Suatu hal yang tidak terpikirkan pada saat saya lulus SMA. Saat itu orientasi kita begitu lulus SMA inginnya melanjutkan sekolah di PTN luar kota Purwokerto seperti UGM, Undip, ITB dan sejenisnya. Saat itupun saya ingin sekolah di Semarang atau Yogya, namun apa daya mungkin kemampuan otak saya tidak sampai sehingga tidak diterima.

Tapi paling tidak saya bisa mengambil hikmah dari tidak diterimanya saya saat itu seperti kondisi orang tua yang sebentar lagi pensiun sehingga bisa jadi mengganggu proses belajar saya. Hal itulah yang mengubah orientasi saya di tahun berikutnya untuk mencari sekolah yang berbea siswa, ataupun kalau ke PTN ya mesti di Purwokerto. Selain itu dulu saya yang pernah masuk jurusan A3 lalu pindah ke A2 dengan harapan bisa jadi tukang Insinyur, saat itu pindah orientasi pilihan ke jalur ekonomi lagi. Sudah saya buang keinginan orang tua supaya jadi Insinyur dan siap menjadi anak A3 lagi.

Selama mengganggur saya hanya belajar yang berbau ekonomi dan melupakan pelajaran seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika IPA. Belajar sendiri di rumah . . . wow suatu tantangan yang cukup berat. Apalagi kondisi lingkungan yang banyak pengangguran sempat membuat saya menjadi anak malam. Suka keluyuran malam hari, nongkrong di pos ronda apalagi saat itu sedang demam intercom.

Pasang kabel tarik kabel, kenalan lewat jalur intercom dilanjutkan copy darat mewarnai kehidupan saya saat itu. Bisa bisa dari bangun siang sampai mau tidur subuh, asik berintercom ria. Syukurnya saya tidak terbawa arus negative seperti merokok, minum minuman keras dan masih bisa belajar sendiri (istilah sekarang home schooling kaleee he he he), tanpa ikut Bimbingan Belajar (maklum kondisi ekonomi).

Saya bersyukur bisa datang ke Jakarta atas bantuan Bu Liknya Yusuf Priambodo anak Bio 1. Maklum saat itu saya sama sekali tidak tahu timur barat selatan dan utaranya Jakarta. Kebetulan Bu Liknya Yusuf ini dulu guru SD adik saya dan hubungannya cukup dekat. Karena ikut suaminya pindah tugas ke Jakarta, maka Bu Liknya Yusuf ikut pindah tugas juga di Jakarta.

Beberapa sekolah ikatan dinas seperti di Departemen Keuangan, Biro Pusat Statistik dan sejenisnya saya coba masuki. Alhamdulillah saya diterima di salah satu sekolah ikatan dinas dan sampai sekarang masih bekerja di tempat itu.

Hari ini 20 tahun tepat saat saya mulai datang ke Jakarta. Banyak kenangan baik suka dan duka mewarnai perjalanan selama itu. Salah satunya adalah nama panggilan saya berubah paling tidak untuk lingkungan baru. Setelah selama 20 tahun di Purwokerto saya dikenal sebagai Yus, begitu pindah Jakarta dan sempat di Ujung Pandang teman, rekan, tetangga, pimpinan memanggil saya Tri Budi atau Tri atau Budi. Berangsur angsur hilang sudah nama Yus di Jakarta.

Sampai akhirnya hampir 20 tahun setelah bertemu kembali dengan teman teman SMA yang dimulai dari Iwan, mulailah nama Yus kembali terdengar di Jakarta, minimal di milis ini.

Cukup panjang juga ceritanya ya. . . . .

Saya membutuhkan waktu hampir tiga jam untuk membuat tulisan ini (kebetulan bos lagi cuti jadi agak santai he he he, jangan dicontoh ya). Bagi Iwan Samariansyah bapak Jurnalis kita mungkin tulisan ini bisa diselesaikan dalam waktu 10 menit.

Begitu berat menuangkan buah pikiran, pengalaman, ide ke dalam tulisan. Sudah lama mikir, hasilnya garing dan wagu he he he. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman teman untuk belajar menulis atau paling tidak menghargai para penulis seperti Iwan Sam. Jadi mohon yang berlebih membeli majalah ARTi yang telah terbit. Kalau saya mohon maaf walau sudah dapat diskon masih belum bisa beli he he he.

-----------------------
Dipostingkan di milis oleh Tri Budi Yuswantoro pada 21 Mei 2008

Tidak ada komentar: