Selasa, 24 November 2009

Belajar di Jonggring Seloka Kehidupan


Mencari tempat belajar, saat ini jadi perbincangan hangat. Telaah akademis, yang diletakan pada analisa kualitas, konten, metode, bahkan nilai, menjadi usungan para konsultan pendidikan. Profesi baru yang menjanjikan, melawan kegagalan, kalau tidak mau disebut ’ketidakpedulian’ pada peran sebagai orang tua terhadap anak.


Sama, belajar ngunduh kawruh, pemilihan tempat belajar jadi satu permasalahan. Dimanakah saya harus belajar? Mestikah mencari Jonggring Saloka, ranah tempat bersemayamnya para dewa. Tempat penyucian, penggodokan dan panglebur dosa, kawah Candradimuka, paradoks yang dapat digunakan untuk menghukum dan meleburkan para pendosa dan terhukum, sekaligus menjadi tempat lelaku yang telah melahirkan beberapa satria pilih tanding.


Memang Jaka Tetuka, Sang Gathotkaca, putra Bima dari Ibu Harimbi, begitu lahir langsung diceburkan ke Kawah Candradimuka, digodok bersama lahar dan lava panas yang tidak menjadikannya binasa, sebaliknya malah melahirkannya menjadi satria pilih tanding. Otot kawat balung wesi tan tedas tapak paluning pande tinatah mendat jinoro menter, terbang dengan kutang ontokusumo, pemenggal leher raksasa (buta) dan berjiwa tanpa pamrih.


uga Wisanggeni, putra Harjuna dari Ibu Dersanala. Begitu lahir ia langsung dimandikan air Kawah Candradimuka oleh Narada. Tidak menjadikannya lebur, malah menjadi satria cerdas tanpa batas, sakti tanpa henti, bahkan ludahnya pun dapat menjadi api. Dalam hal ini, bahkan seorang Kresna pun, tak dapat menandingi kecerdasan dan keberanian Wisanggeni.


Apakah petilasan leluhur, beringin kurung, tempat angker yang sepi, gunung dan batu besar, adalah Jonggring Saloka? Atau di dasar samudra, sepertihalnya Bima yang menemukan esensi ke-Dewa Ruci-nya?

Kalau pewayangan adalah simbolisasi metode, seharusnya kawah candradimuka juga tidak dipahami sebagai tempat phisikal. Tetapi visualisasi dan simbolisasi. Suatu tempat untuk belajar, ngunduh kawruh, mengenai jati diri.


Mengapa mesti jauh dengan tapa brata di tempat sunyi. Kalau belajar mengenai esensi diri, tentunya di ’diri’ itu sendirilah tempat belajar sejati. Di tubuh ini, di hidup keseharian kita. Itulah tapa brata sejati. Itulah meditasi sebenarnya. Itulah Jonggring Seloka kita masing-masing.


Dan belajar kesejatian, bukan untuk nyecep ilmunya. Tetapi untuk berproses, saling diskusi, melakukan

refleksi meditatif, mempertanyakan dan mewartakan kebenaran yang berhasil dicari dan dicapainya sendiri-sendiri, untuk kemudian didialogkan. Kebenaran itu hanya kawruh. Kawruh itu adalah yang tergapai, sedang kebenaran tidak pernah tergapai.


Itulah sebabnya, dari Jonggring Saloka-nya hidup ini sendiri-sendiri, akan lahir bukanlah keseragaman, namun keberagaman berdasarkan proses yang dijalani masing-masing. Mengapa kita mesti mempergesekan dengan pertentangan tanpa makna. Atau bahkan tanpa kendali menjadi permusuhan?


Setelah para pencari ngelmu ini turun gunung dari Jonggring Salokanya, kita kembali ke profesi hidup ini. Tidak perlu semua jadi pandhita, jadi pastor, atau jadi kiai, tetapi menjadi diri sendiri apa adanya. Sebagai pedagang, prajurit, penyair, karyawan, pemimpin, dan sebagainya. Namun pedagang, prajurit, penyair, karyawan, ataupun pemimpin yang punya ngelmu yang bisa mensintesakan pelbagai dan segenap kawruhnya. Itulah proses belajar yang sedang saya jalani.

Ditulis oleh : Kris Ade Sudiyono di Milis Deltu

Tidak ada komentar: