Selasa, 29 April 2008

Enam Kali Tangisan untuk Adikku

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.

Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,

"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,

"Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.

Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai dia kehabisan nafas.

Sesudahnya, dia duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.

Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia delapan, tahun dan aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.

Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi. Aku telah membaca cukup banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti aku mesti mengemis di jalanan, aku akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" dan begitu selesai bicara dia kemudian mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang.

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum shubuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering.

Dia menyelinap ke samping ranjangku dan dia telah meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata ber- cucuran sampai suaraku hilang.

Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20 tahun.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di Universitas) .

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Aku bertanya-tanya. Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku bahwa kamu adalah adikku?"

Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa trenyuh, dan air mata memenuhi mataku.

Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. .."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.

Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20 tahun. Aku 23 tahun.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu sebenarnya tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya?

Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku.

Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.

"Apakah itu sakit?" aku bertanya.

"Tidak kak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."

Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23 tahun. Aku berusia 26 tahun.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa.

Adikku juga tidak setuju dan mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku kemudian menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu habis-habisan, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.

"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan aku ini orang yang hampir-hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, kabar seperti apa yang akan tersebar ke semua orang ? Kakak pasti akan dipermalukan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian dari mulutku keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.

Tahun itu, ia berusia 26 tahun dan aku 29 tahun. Adikku kemudian berusia 30 tahun ketika dia akhirnya menikahi seorang gadis petani dari dusun itu.

Aku menghadiri pesta pernikahannya yang sederhana. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan sama sekali tidak dapat kuingat. "Ketika aku dan kakakku pergi sekolah SD, dia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya."

Dia melanjutkan.

"Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata- kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku wajib berterima kasih padanya adalah adikku."

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"
(Dari email seorang teman)

Diposting oleh Alfina Damayanti di milis deltu-club pada 29 Agustus 2007

Cinta dan Kawan

Cinta & Kawan


Satu hari CINTA & KAWAN berjalan dalam kampung...


Tiba-tiba CINTA terjatuh dalam telaga...


Kenapa??


Kerena CINTA itu buta...


Lalu KAWAN pun ikut terjun dalam telaga...


Kenapa??

Karena... KAWAN akan buat apa saja demi CINTA !!


Di dalam telaga CINTA hilang...


Kenapa??


Karena... CINTA itu halus, mudah hilang kalau tak dijaga, sukar dicari apa lagi dalam telaga yang gelap...


Sedangkan KAWAN masih lagi tercari-cari dimana CINTA & terus menunggu..


Kenapa??

Karena... KAWAN itu sejati & akan kekal sebagai KAWAN yang setia...kan ??


So, hargai lah KAWAN kita selagi kita terasa dia BERARTI....

Walau kita punya pasangan, teman masih tetap yang paling setia.


Walau kita punya harta banyak, teman masih yang paling berharga.


frenz never break............


Diposting oleh Alfina Damayanti pada 13 Juni 2007 di milis deltu-club@yahoogroups.com


Kamis, 17 April 2008

Cerita kumpul-kumpul Minggu, 6 Januari 2008

Pada 6 Januari 2008, beberapa bulan lalu, The Deltu's Club mengadakan pertemuan silaturahmi awal tahun di rumahnya Kusumo Wibowo (Bowie) di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sejumlah wajah baru alumni SMA Negeri 2 Angkatan 1987 hadir pada kesempatan tersebut meramaikan suasana, diantaranya Agus Supriyono (Fis-1) dan Lilis Maryati (Bio-4).

Foto-foto berikut diambil sesaat setelah pertemuan usai dilaksanakan. Saya datang dengan pasukan lengkap. Maksudnya membawa anak dan isteri karena kebetulan baru saja pulang dari Bandung menengok ayah mertua saya yang sedang sakit keras.


Pertemuan kali ini dikemas dalam doa bersama awal tahun, dan Bowie beserta keluarga mengajar serta sejumlah anak yatim piatu untuk ikut serta dalam acara. Ada siraman rohani segala. Sayang, saya datang terlambat karena memang perjalanan Bandung - Jakarta - Depok cukup jauh sehingga baru sampai di tempat acara pada pukul 13.00 WIB.

Saat datang saya disambut sosok tinggi besar berkumis yang sungguh saya lupa namanya. Namun akhirnya Bowie mengenalkannya sebagai Agus Supriyono, yang sekelas dengan Wikan Wiratsongko, sohibku.

Di dalam ternyata sudah ada Alfina beserta anak-anaknya. Alfina sekarang memakai jilbab dan tampak lebih anggun dan dewasa.

Wikan Wiratsongko juga datang membawa serta isteri dan anak semata wayangnya. Wah sudah gede dia. Terakhir ketemu dengan puterinya Wikan ini masih bayi.

Selain itu, ada teman-teman lain seperti Herry Drajat, Niken, Nina,
Asep Adiyani, Eko Priyanto dan Hardiyanto yang jauh-jauh datang dari Cikarang. Beberapa pertemuan sebelumnya Yanto - begitu panggilan akrabnya -- absen. Tapi kali ini datang lengkap dengan anak dan isterinya. Kita ngobrol panjang lebar seraya menghabiskan kue-kue dan penganan yang sudah disediakan tuan rumah. Lebih dari cukup rasanya.

Giliran pertemuan berikutnya adalah Nuriana di Bekasi yang baru saja pulang dari tanah suci (naik haji) atau kalau tidak bisa kemungkinan Makhsun akan ditunjuk menjadi tuan rumah alternatif. Nanti akan dibicarakan lagi kapan pertemuan selanjutnya. Seusai pertemuan kita kemudian berfoto bersama di depan rumahnya Bowie yang terletak di Kebagusan itu, tidak jauh dari rumah pribadinya mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri. (Laporan : Iwan Samariansyah).

Kumpul-kumpul di Kalibata Mall

SETELAH melalui perbincangan di milis berhari-hari, pada Kamis malam, 17 April 2008 terselenggara juga acara kumpul-kumpul sejumlah anggota The Deltu’s Club. Memang, rencana semula untuk mengadakan olahraga futsal terpaksa dipending, berhubung kita tidak kebagian lapangan untuk bermain futsal. Baik jam 19:00 WIB maupun jam 20:00 WIB sudah dipesan oleh pemain lain.

Saya datang ke Kalibata Mall sekitar pukul 19:07 WIB, ngebut dari kantor yang berlokasi di Rawamangun memakai sepeda motor. Tadi sempat ragu-ragu, mau menggunakan busway, KRL ataukah mobil menuju ke lokasi pertemuan. Ada dua meeting yang harus saya ikuti di kantor. Dan selesai pas saat azan Maghrib berkumandang. Arloji saya menunjukkan pukul 18:15 saat saya siap berangkat ke Kalibata.

Saya fikir mustahil saya tiba tepat waktu bila menggunakan moda transportasi lain. Akhirnya saya putuskan menggunakan sepeda motor. Ini kendaraan paling cepat yang bisa mencapai lokasi, dan paling tepat menembus kemacetan lalu lintas pada jam-jam pulang kantor di Jakarta yang padat saat itu. Dan tampaknya dugaan saya benar adanya. Setelah masuk ke lokasi parkir, saya segera bergegas menuju lantai 2.

Saya naik menggunakan travelator yang terletak di samping Giant Supermarket, langsung menuju meeting point yang terletak di lobby Mall Kalibata. Akupun sampai di depan restoran Pizza Supermarket, tak satupun makhluk kutemui di tempat itu. Terbersit sedikit kekhawatiran, jangan-jangan pada masih terjebak macet saat ini. Segera kukirim SMS pada Adjib, Asep dan Yus.

Kabar dari Yus melegakan. ”Hayo ke sini Wan. Sudah ada lima orang nich yang datang. Kita kumpul di restoran Solaria. Dari Pizza Hut lurus saja, ketemu JCO lantas belok kanan,” ujar Yus di telepon pada saya. Sayapun segera bergegas mencari restoran yang dimaksud. Dan ternyata restoran itu sudah kelewatan saat saya menuju ke lobby Mall tersebut tadi ! Sayapun segera masuk ke restoran yang cukup besar itu.

Suasana restoran cukup ramai. Ruangannya juga luas sekali. Dan di pojok restoran, sejumlah pria menyambutku dengan senyum lebar : Tribudi Yuswantoro (Yus), Makhsun Al Makky (Max), Adiyani (Asep), Hardiyanto (Yanto) dan satu lagi, waduh, aku ndak tahu namanya. Penasaran deh. Orang baru semacam inilah yang selalu membuatku selalu ingin datang pada setiap pertemuan demi pertemuan Deltu Club.

Belakangan aku tahu, pria tegap yang memakai peci ala pak Haji itu adalah Darno. Dia abdi hukum, seorang polisi yang bekerja di lingkungan Polda Metro Jaya. Sesaat perbincangan kami menyinggung soal tilang polisi dan pembuatan SIM. Darno nyengir. Tetapi dengan senang hati dia melayani topik tersebut. Tak lama kemudian menyusul datang ke tempat pertemuan adalah Adjib Al Hakim, Sujangi dan Eko Priyanto.

Kamipun segera memesan sejumlah makanan dan minuman pada petugas restoran Solaria. Aku memilih cappucino dingin, sama dengan pilihan Makhsun. Makanannya snack saja. Teman-teman lain, ada yang memesan nasi goreng, ayam goreng dan sejumlah makanan lainnya. Sembari makan, mulut kami tak henti berceloteh dan saling bertanya kabar teman-teman yang lain.

Kebetulan Asep membawa dua buah buku data alumni 1987. Buku fotokopian itu membantu kami mengingat sejumlah teman lama yang pernah akrab bertahun lalu. Bahkan aku sempat menelepon Slamet Iwandito (Udit), salah satu teman seangkatan yang tinggal di Bandung. Dia sangat gembira dihubungi kawan-kawan lamanya. Di Bandung, selain Udit, ada pula Kasid dan Hartini. ”Sesekali kita ngumpul di Bandung yukh,” ujar Asep, yang seperti biasa, teman yang paling heboh berceritera.

Kami ngobrol di Solaria sampai sekitar pukul 21:00. Kami mesti berhenti, karena restoran harus tutup. Meski demikian, penasaran karena tak bisa main futsal, kami menuju lantai 3 mall tersebut untuk melihat lapangan futsal tersebut. Wah, ternyata menarik juga. Di situ kami sudah ditunggu oleh Herry Drajat Setiawan yang terlambat datang karena ada urusan di kantornya yang tak bisa dia tinggal.

Foto-foto yang diambil dengan kamera handphone dapat teman-teman lihat di halaman ini. Memang kualitas gambarnya tidak terlalu bagus, tetapi lumayanlah sebagai tombo kangen. Terbetik ide untuk menggelar pertemuan yang lebih khusus. Menginap, misalnya. Untuk mengisi kegiatan positif keluarga di masa liburan.

Apalagi Makhsun Al Makky, teman kita ini adalah profesional yang berkecimpung dalam dunia outbond training bersedia untuk menyusun acara family gathering. ”Tempatnya di studio kami di Citarik, Sukabumi,” ujar Makhsun, mantap.

Teman-teman cukup antusias mendengar rencana itu. Saya sendiri berminat, dan mungkin akan berencana mengambil cuti bila hal tersebut jadi dilaksanakan. Tentu asyik berkumpul bersama teman-teman dan seluruh anggota keluarganya. Rencananya acara tersebut digelar bersamaan dengan liburan sekolah anak-anak pada Juni atau Juli mendatang.

Kita bersama-sama akan mencoba mengajak sebanyak mungkin alumni untuk bisa mengikuti acara tersebut. Baik yang tinggal di Jakarta, Bandung, Purwokerto maupun kota-kota lainnya. Tujuannya untuk menjalin keakraban dan tali silaturahmi yang sudah sekian lama terputus. Modal untuk mengadakan acara tersebut bisa ditanggung bareng-bareng. Dan saat ini database alumni yang sudah terkumpul sekitar 71 nama.

Untuk membicarakan acara tersebut, maka rencananya akan dilakukan family gathering tanpa menginap di Bumi Perkemahan Cibubur pada bulan Mei mendatang. Selanjutnya dibentuk kepanitiaan untuk mempersiapkan acara lebih matang. Saya berharap rencana ini bisa berjalan dengan baik. Tentu promosi dan informasi harus disebarkan seluas mungkin dan sejelas-jelasnya. (Laporan : Iwan Samariansyah)

Jumat, 11 April 2008

Rencana Kumpul-kumpul Lagi

SETELAH kumpul-kumpul di awal tahun 2008 di rumah Kusumo Wibowo (Bowie) yang mengundang serta sejumlah anak Yatim Piatu, maka itulah pertemuan The Deltu's Club terakhir. Saya belum ada waktu mengupload foto-foto waktu kumpul-kumpul di rumah Bowie itu. Tetapi yang jelas, ada sejumlah muka baru datang. Antara lain Agus Supriyono, yang dulu alumni Fisika 1 dan Lilis Maryati yang dulu alumni Biologi 4.

Nah, rencananya pada Kamis, 17 April 2008 jam 19.00 WIB, kita akan menggelar pertemuan lagi, bertempat di Kalibata Mall, Jl TMP Kalibata, Jakarta Selatan.

Bertindak sebagai tuan rumah adalah : Makhsun dan bintang tamu : Ajib Al Hakim.

Yang menarik, Makhsun punya ide agar ajang kumpul-kumpul ini kegiatannya lain dari yang lain yaitu berolahraga Futsal. Alamak. Asyik juga. Sayapun mencari-cari foto lapangan futsal di Kalibata Mall, kayaknya sih boleh juga tuh. Mudah-mudahan bisa terlaksana.

Ini pertemuan pertama setelah jumlah keanggotaan The Deltu's Club bertambah secara signifikan. Mungkin yang terdeteksi sudah mencapai angka 50 alumni. Awal yang sungguh menggembirakan. Kita semua bertekad bahwa tahun 2008 ini kita bisa mengumpulkan sedikitnya 100 nama alumni, terutama alamat kontaknya.

Kita berhasil mendapatkan sejumlah nama alumni yang menetap di Purwokerto yaitu Ismurtyadhi, Edi Sukarsono, Rachmat Setyadi serta Sembodo suami isteri. Isteri Sembodo adalah Tina, yang dulu sama-sama alumni Fisika-3, sekelas dengan Tartum dan Ismurtyadhi.

Para alumni yang bermukim di Purwokerto ini punya peran penting dan strategis. Bila para alumni yang merantau di berbagai kota ingin menggelar Reuni Balik Kampung, maka mereka lah yang menjadi panitia penyelenggaranya kelak. Luar biasa bukan ?

Mudah-mudahan paguyuban Alumni Angkatan 1987 ini akan tumbuh besar, sehat dan kuat. Saling bantu, saling dorong. Bila ada teman yang kurang beruntung maka yang lebih beruntung sedapat-dapatnya memikirkan cara untuk membantu sang teman.

Setidaknya itulah cara kita semua menjadi warga negara yang baik. Sekecil apapun sumbangsih kita, pasti bermanfaat untuk negara dan bangsa ini.


Rabu, 09 April 2008

Mommeee ....

SUATU saat ibu saya mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, dan saya bukanlah orang yang sabar, tetapi walaupun demikian kami berangkat juga ke pusat perbelanjaan tersebut.

Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah dan ibu saya mulai frustasi. Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu saya mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai.

Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini
saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian, saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya.

Ternyata, tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat
melakukannya, seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang dalam kepadanya. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut.

Pakaian ini begitu indah,dan dia membelinya. Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya.

Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu saya yang gemetaran dan sedang berusaha mengikat tali blusnya. Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya.

Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya ... dan yang membuatnya terkejut, memberitahukannya bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata baru, betapa bernilai dan berharga nya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu.

Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu agung, tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan Ibu... With Love to All Mother

Berbahagialah yang masih memiliki Ibu. Dan lakukanlah yang terbaik untuknya...........

"Lakukanlah yang Terindah dan Terbaik yang Anda dapat persembahkan Untuknya"


Sumbangan Alfina Damayanti, diposting di milis DELTU-Club pada 8 Juni 2007




Jumat, 04 April 2008

Mencari Diri


Setapak demi setapak
Menyusuri jalan-jalan kehidupan
Menghadapi hambatan dan tantangan
Mengarungi samudera penderitaan
Menempuh badai tak kenal lemah

Dihempas alunan perasaan
Kutatap lurus ke depan
mempersiapkan diri
Mencari makna kehidupan
Mencari hakikat hidup diri

Terombang-ambing
Antara cita, cinta dan penghargaan
Demi terciptanya kualitas
Demi wujudnya prestasi diri

Pribadi yang tercinta
Engkau hilang dalam sunyinya diri
Engkau larut bersama arus air

Kugapai tanganku
Kuteriakkan kata-kata tanpa makna
Aku terjerembab tak mengerti

Kutengok sang sosok pribadi di suatu saat
Masa silam yang tlah lama kutinggalkan
Menangis diri merasa bodoh
Tak guna bagi kehidupan kini
Tak siap buat masa depan

Kuingin kembali dan bangkit lagi
Kuingin gemilang dan tumbuh
Kumelangkah
Tersandung aku
Terlalu memang

Tapi tak guna itu semua
Tak pernah ku menemukannya
Akupun ragu
Aku bingung
Berteriak
Merah
Hitam
Putih

Kau
Aku
Mereka
Dia
Semua
Terpana Menatap Dunia

Tapi akhirnya
Aku bertanya sudahkah kau temukan cinta
Cinta dalam arus kehidupan
Cinta manusia, cinta alam semesta
Cinta Tuhan

Entahlah jawabku
Akupun hilang
Dan dunia tetap berputar

Puisi karya : Iwan Sams

(keterangan puisi : puisi ini belum pernah dipublikasikan sebelumnya dan ditulis hanya dalam diary penulis tertanggal Purwokerto, 25 November 1986).

(Keterangan Foto : Foto ini disumbangkan oleh Tartum (kedua dari kanan). Berpose seusai acara perkemahan Pramuka Dirgantara di Wirasaba, Purbalingga. Dalam gambar dari kiri ke kanan adalah : Bayu Priadi Kusumo (adik kelas), Wicaksono Santosa, Hendra (kakak kelas), Freddy Santosa (anak SMA Veteran), iwan sams, Warto MG (anak SMEA), Eko Priyanto, Tartum dan Wikan Wiratsongko). Foto diambil tahun 1986.

Menyapa Teman

Oleh : Wikan Wiratsongko

Halo para sedulur.., sampurasun. Ikutan absenlah, kayane kok tambah rame ya. Kebetulan tadi siang, mas tri telpon aku, di comblang-i sama pak Eko (seorang pejabat penting di dephukham, yang menurut sumber resmi, beliaulah yang meloloskan Budiono menjadi Gubernur BI...halah.!! ;D), dan pak eko ini paling males SMS-an.., katanya gak PD tulisannya jelek...hahaha..sori kang..., "jas merah di dinding, jangan marah just kidding.."

Selamat bergabung mas Tri, kalo teman-teman susah ngurus SPT Tahunan, atau mau ngurus NPWP khususnya yang tinggal di Bekasi, bisa hubungi beliau, karena mas Tri bekerja di kantor pajak Bekasi. Wah makin banyak, lengkap dan menyebar ya alumni SMA 2 yang sudah jadi pejabat. Kayane nek nggawe partai bisa lolos verifikasi nih...

Cerita masa-masa SMA pasti gak ada matinya, puisi-puisi kang Iwan boleh juga...., dia memang beraliran romantisme-sekularisme-jombloisme...hahaha.., maklumlah pada masa itu dia sangat mengagumi dan terinspirasi karya-karyanya Arswendo, Veven SP Wardana, Khalil Gibran, Kho Ping Ho, Enid Blyton, Old Shatterhand, Fredi dan Nick Carter... ;D

Dia memilih tinggal di jalan Mesjid, karena dekat sama Bioskop Garuda.

Wah baru nimbrung kok udah celak2an, bisa2 ntar di cekal sama moderator milis. Tapi gak papa lah, biar tambah rame, biar lebih punya taste..(iklan banget yak..)

Pas tanggal merah maret lalu, kebetulan aku juga ke Purwokerto, cuma bentar sih, karena bawa rombongan keluarga dari Magelang, ceritanya cuma transit semalam, terus bablas lewat pantura. Asyik juga jalan-jalan malam minggu, jam 12 malam masih ramai, jajanan lesehan dan warung masih banyak, juga kebetulan RRI lagi nanggap wayang kulit.

Di sepanjang jalan Sudirman, banyak banget motor-motor, kira-in tukang ojek..., gak taunya anak-anak yang mau trek-trekan, balap-balapan..., wuih macam GP di Sepang.. kayane asyik banget ngetrek dari alun-alun ke arah timur sampai di pertigaan jalan Merdeka...wuing..wuing...wuz..wuz...gedbrakkk....!!!

Purwokerto memang kota yang asyik, masih ramah dan bersahabat. Cuma lebih ramai saja dibanding jaman kita dulu.

Just info aja, kita-kita kan gen 80-an, kali aja pingin nostalgia suasana 80-an, mode 80-an, lagu-lagu 80-an, artis idola 80-an, teman-teman bisa tune-in di acara "zona 80-an" MetroTV tiap minggu malam, jam 22.00-23.00, dan di radio Sonora (promosi-in radio tetangga nih) acara "80-an" tiap Kamis malam, jam 22.00-24.00.

Yuk ah, itu dulu, aku tunggu cela'an yg lain nih..

(Sumber : Milis Deltu-Club, Jum'at 4 April 2008)

Kamis, 03 April 2008

Kutipan Diary masa SMA, 23 Maret 1987

23 Maret 1987
Di halaman sekolah, ikut upacara bendera seperti biasa. Sudah kelas III sekarang, jadi nggak pernah lagi jadi petugas upacara seperti ketika masih duduk di kelas I dan II. Aku baris di bagian belakang sama Imam dan Philip. Ugi, cewek termungil di kelasku juga ikut-ikutan di belakang.

Eh, mendadak dia berbisik sama aku : "Eh Wan, Dan Up-nya itu cakep lho. Katanya si Cinta kesengsem sama dia". Sialan nich anak, rutukku.Menurut Ugi, Cinta suka sama Dan Up, because wajahnya mirip Arjuna. Sialan, sialan, sialan. Aku mengumpat dalam hati.

Usai upacara bendera, masuk ke kelas, jam pelajaran matematika bersama Pak Sam membahas soal-soal pertanyaan. Aku nggak konsentrasi. Masih teringat omongan si Ugi tadi. Duh Tuhan, kok aku jadi pencemburu begini ya? Aku sayang sama Cinta, tetapi Cinta kenapa nggak bisa melupakan Arjuna.

Keasyikan melamun, eh jam pelajaran Pak Sam usai. Dilanjutkan pelajaran agama Islam, Ibu Munjiyah. Wah kalau yang ini kagak berani melamun aku. Bisa gawat. Ibu Mun membahas soal surat-surat hafalan. Wakk, aku lupa nich. Untung surat yang dibahas adalah surat Al Ma'un. Wah kalau ini aku udah hafal sejak SMP. Syukur-syukur.

Kemudian mata pelajaran ketiga Senin itu, masuk ke praktikum Biologi. Jadi kami semua sekelas pergi ke laboratorium Biologi. Topiknya membahas bagian-bagian tubuh manusia. Dan akhirnya hari itu ditutup dengan SR, bahasa Indonesia. Perang lagi dia dengan Endy, Imam dan teman2 yang duduknya di belakang. Hahahaha, SR sampai nyumpah2 tuh sama Endy.

Pulang sekolah, aku mampir ke kelas Cinta dan nganterin dia ke rumahnya. Kami tak bicara banyak. Aku juga nggak nyinggung ucapan Ugi tadi pas Upacara. "Kamu sakit?" ujarku waktu dia turun dari motor.

Dia menggeleng. Aku ngomong begitu soalnya melihat dia agak lesu. "Cuman capek aja," jawabnya, tersenyum tipis. "Ntar telepon ya?" katanya kepadaku sembari melambaikan tangan.

Aku mengiyakan.

Senin sore ini aku ndak ada bimbingan tes di Neutron Club. Aku akhirnya menghabiskan waktu di kamarku sembari mengerjakan PR Matematika. Dan tak lama kemudian Maghrib pun tiba.

Aku ke masjid Baitussalam. Habis Maghrib, aku nelpon Cinta, dan kami ngobrol panjang. Aku menelepon dari telepon umum koin dekat pasar Pekih. Malu kalau ngobrol sama pacar lewat telepon di rumah mbah, hehehe ....

Oh ya, di alun-alun siang tadi rame banget. Rupanya masa kampanye Pemilu 1987 sudah dimulai. Tadi penuh warna kuning. Rupanya Golkar kampanye pertama. Tahun ini untuk pertama kalinya aku akan menjadi pemilih.

Pemilih pemula. Mau pilih apa ya? Ah gimana nanti ajalah. Aku nggak peduli politik. Yang penting belajar dengan baik, lulus dengan nilai baik dan dapat perguruan tinggi negeri bagus. Kalau swasta, aku khawatir orang tuaku nggak sanggup membiayai. Ya Allah, ridhai aku.

Udah ah ngantuk. Met malam hitam.

Catatan :
Cinta dan Arjuna itu bukan nama sebenarnya. Mohon yang faham, simpan untuk diri sendiri saja ya? Terima kasih.

Jumpa Hardiyanto di Purwokerto

Oleh : Tri Budi Yuswantoro

Libur panjang pada 20-24 Maret 2008 lalu, Alhamdulillah saya diberi kesempatan pulang ke Purwokerto. Berangkat hari Kamis pagi sudah terasa kepadatan lalu lintas di jalan tol Jakarta Cikampek.

Wah, rasanya kaya mau lebaran aja, tapi ya santai aja namanya juga semuanya mau pada liburan.

Hari Jumat saat di Purwokerto saya iseng telepon Hardiyanto menanyakan liburan ke Purwokero atau tidak. Saya dapat info Hardiyanto dari milis ini lhooo…, namun baru sebatas telepon dan email-an aja.

Ternyata Hardiyanto Jum’at itu dalam perjalanan menuju Purwokerto. Wah kayanya bisa ketemuan nih di Purwokerto pikirku. Malamnya saya telepon dan ternyata Hardiyanto sudah ada di Purwokerto.

Seteleh mengobrol lewat telepon saya ajak Hardiyanto untuk ketemuan besok pagi hari Sabtu. Tempat kita setujui yang netral aja jangan di rumah. Yang paling memungkinkan karena pagi ya alun alun Purwokerto sekitar jam 07.00.

Hari Sabtu pagi kita konfirmasi lagi dan dipastikan bisa, maka saya meluncur ke Alun-Alun Purwokerto yang berjarak sekitar 600 meter dari rumah. Saya tinggal di jalan Jend. Sutoyo atau yang dulu dikenal dengan nama jalan Sawangan, gang I.

Sambil menunggu Hardiyanto datang, saya sempatkan baca-baca koran yang disediakan di alun alun.

Sekitar 10 menit saya ditelepon Hardiyanto dan saya bilang kalau saya ada di jalan tengah alun alun, dan saya sempat lihat di depan mesjid ada orang yang barusan telepon.

Saya perhatikan terus dan saya yakin yang naik sepeda motor itu Hardiyanto walau pakai helm. Keyakinan saya benar orang yang naik sepeda motor menghampiri dan itu Hardiyanto.

Hardiyanto datang bersama istri dan anak nomor dua. Yang nomor satu katanya masih tidur.

Saya datang sendirian, kebetulan istri dan anak saya menginap di Gumelar Ajibarang, tempat mertua saya. Sedangkan saya menemani ibu yang barusan sakit, yang sejak ditinggal almarhum bapak, sendirian di rumah Sawangan.

Setelah bersalaman, saya dan Hardiyanto duduk di tempat pot yang pinggirnya cukup buat duduk, sementara istri dan anak Hardiyanto asyik main di alun alun.

Sambil memandang gunung Slamet yang jelas kelihatan kita bercerita ngalor ngidul. Maklum saya dengan Hardiyanto hanya sekelas waktu kelas 1-4 tahun 1984, setelah itu Hardiyanto di Fis dan saya di Bio.

Perpisahan yang cukup lama lebih dari 20 tahunan.

Saya perhatikan tidak banyak yang berubah dari Hardiyanto, masih pakai kacamata dan kurus he he he, sama kok dengan saya. Namun sebetulnya saya akrab dengan Hardiyanto sejak di SMP Negeri 2 Purwokerto.

Waktu itu walaupun saya tidak sekelas, namun karena memiliki hobbi yang sama yaitu bidang pramuka dan mungkin dianggap cakap, saya bersama Hardiyanto dan beberapa teman dalam satu regu, sering mewakili SMP Negeri 2 Pwt dalam lomba tingkat kecamatan maupun kabupaten.

Malahan Hardiyanto masih ingat nama regunya yaitu Rajawali dengan Imam Santosa sebagai ketuanya dan saya sebagai wakilnya. Wah kalau yg ini saya lupa deh pernah jadi wakilnya he he hebat ngga, ya ngga ya.

Sekitar satu jam kita ngobrol tanpa ditemani makanan maupun minuman, tetapi nggak terasa lapar/haus karena mungkin udara yang relatif cukup segar. Setelah itu kita berpisah, yang Insya Alloh kalau ada kesempatan bertemu di Jakarta.

Bertemu Asep

Oleh : Tri Budi Yuswantoro

Sambil nunggu waktu pulang, saya mau nulis lagi ah.Kali ini mengenai pertemuan dengan Asep Adiyani.Niat ketemu Asep ini mendadak begitu saja.

Saat itu hari Kamis tanggal 13 Maret 2008, kebetulan saya ada urusan pribadi di daerah Fatmawati. Setelah dapat ijin dari bos dari Bekasi saya meluncur ke Fatmawati.

Selesai urusan di Fatmawati saya lihat waktu masih pukul 12.00. Kebetulan saya punya nomor HP Asep, maka saya telepon dan saya bilang kalau ada waktu saya akan mampir sekitar pukul 13 an.

Setelah ada konfirmasi yaitu kepastian bahwa dia ada di kantor dan tidak mengganggu pekerjaannya, maka saya meluncur ke arah Wisma Metropolitan di bilangan MH. Thamrin.

Informasi lewat SMS Asep berkantor di Wisma Metropolitan gedung belakang yang kemudian baru saya tahu kalau itu gedung World Trade Centre (bener ya Sep). Agak ketat juga pemeriksaan untuk masuk ke gedung itu, mungkin alasan keamanan.

Saya sempat kesasar di lantai 9 (habis info awalnya begitu), ternyata begitu di telepon balik ada di lantai 7. Di lantai 7 saya ketemu Asep yang sudah lama memang tidak bertemu.

Kesan saya ketemu Asep wajahnya masih kaya 20 tahun lalu, termasuk ngomong, candanya dan tentu saja kumisnya yeeee. Thank ya atas sambutannya.

Ketemu Bayu Prayoga

Oleh : Tri Budi Yuswantoro

Sambil nunggu jam pulang yang kurang 30 menit lagi, saya coba tulis pertemuan saya dengan Bayu teman kelas 1-4 tahun 1984.

Awalnya saya peroleh alamat Bayu dari milis Deltu-Club yaitu di daerah Jalan Muh. Kahfi I. Hari Rabu tanggal 12 Maret 2008 pulang kantor saya niat mencari alamat tersebut.

Daerah tersebut nggak asing karena saya dulu tiap hari lewat (kalau sekarang lewat Moh. Kahfi II). Berbekal baca peta karena masuk gang, saya coba telusuri daerah itu sambil sekalian nyari masjid untuk sholat magrib yang banyak terdapat di daerah tersebut.

Masuk gang Melati saya temukan rumah nomor 19 dengan halaman yang luas, kaya daerah kos kosan gitu. Saya masih ragu soalnya saya ngga kontak sebelumnya (habis ngga tahu no teleponnya) bener ngga ini rumahnya.

Karena saya naik sepeda motor saya putuskan jalan lurus dulu sambil mikir "mampir ngga mampir ngga".

Jalan (gang) makin sempit terus ada belokan, mantap aja belok kanan eh di depan jalan langsung pintu masuk mushola, walah jalan buntu ternyata.

Biar ngga ketahuan malunya sekalian niatnya emang mau sholat magrib ya udah berhenti untuk sholat.

Selesai sholat ada Bapak Haji yang nanya alamat saya (mungkin dia heran kok ada orang asing mampir ke mushola ini).

Sekalian aja saya tanya alamat jl. Melati No. 19, eh malah dia kenal baik ama Bayu. Ya udah, akhirnya kita jalan bareng ke rumah Bayu, terus nama Bayu dipanggil oleh Pak Haji. Keluar anak cewek (putri Bayu) dan bilang kalau bapaknya ada.

Saya tunggu sebentar keluarlah seorang yang nggak asing (karena saya udah siap kalau itu Bayu) dengan rambut panjang tanpa pakai baju, soalnya mau mandi. Bayu pertama lihat saya agak bingung juga maklum udah lama nggak lihat saya. (mungkin sayapun kalau ketemu di jalan ngga ingat kalee).

Saya bilang kalau saya Yus temen SMA 2 Purwokerto, baru deh nyambung. Akhirnya kita ngobrol ngobrol, setelah agak lama dikit saya pun pulang, dengan cerita nostalgia masa lalu.

Main ke Kantornya Iwan Sams

Oleh : Tri Budi Yuswantoro

Semenjak adanya jaringan internet di kantor (walaupun sering ngadat and lelet), kalau ada waktu senggang (kaya orang sibuk aja yee) saya iseng cari artikel apa aja lewat google.

Namanya juga baru melek internet, orang bilang cari aja di google. Dari kebiasaan cari artikel itu akhirnya nyasar ke blog punya teman lama namanya Iwan Samariansyah.

Tadinya saya ngga mengira kalau itu blog punya Iwan (walaupun ada gambar sketsanya tapi wajahnya kok wajah orang gemuk, tahu kan Iwan waktu dulu kurus, tinggi, pecicilan he he), eh begitu lihat isinya kok menyinggung SMA 2 Purwokerto dan tahun 1987 lagi. Maka saya coba ingat ingat apa benar ini Iwan teman saya waktu kelas 1-4 tahun 1984.

Saya baca baca lagi artikelnya sampailah pada kesimpulan bahwa pemilik blog itu Iwan Samariansyah. Saya coba kasih komentar di blog itu sambil cari info nama Iwan Samariansyah di google, dan ketemu beberapa berita tentang dia eh beliau dengan berbagai aktivitasnya (benar benar orang sibuk waktu di kampus UGM, jadi wartawan, kuliah S2 di UI sampai menjadi calon anggota DPD), dan ketemu nomor handphonenya.

Iseng saya telepon terus nyambung ngobrol sana sini dan sempat chatting juga.

Rabu tanggal 27 Pebruari 2008 sekitar pukul 14.00 WIB kebetulan saya ada tugas di daerah Pramuka, saya telepon Iwan kalau saya mau mampir ke kantornya di Jl. Pemuda. Iwan di tengah kesibukannya dengan senang hati menyambut kedatangan saya.

Itulah pertemuan saya dengan setelah lebih dari 20 tahun tidak ketemu (bisa jadi lebih karena sejak kelas 2 SMA praktis saya jarang berhubungan selain beda jurusan, saya juga orangnya agak kurang gaul kalo istilah sekarang).

Saya lihat Iwan yang sekarang pantaslah kalau jadi bos dilihat dari style & gaya bicaranya.

Yang saya kagumi dari Iwan itu adalah daya ingatnya yang masih tajam apalagi kalau cerita teman teman SMA, wong saya aja ngga ingat kalau dulu itu wakil ketua kelas 1-4 sementara Iwan ketuanya, kemudian main pantomin bareng sampai sampai katanya Iwan itu pernah tidur di rumah saya (atau jangan jangan sayanya aja yang sudah jadi makhluk Tuhan yang paling pelupa he he).

Itu dulu sekelumit cerita saya, Insaya Allah ntar disambung dengan cerita pertemuan dengan Bayu dan Asep Adi Yani.

Anggap saja ini awal mula saya menulis di internet, yaaaa sekedar mengungkapkan perasaan/ isi hati ke bentuk tulisan.

Ternyata kalau ngga punya bakat menulis, bikin begini aja susah juga yaaa. Perlu konsentrasi he he he, padahal kalau lihat tulisan orang lain di blog, kok kayanya mudah he he he.

Yuddy SW sudah GM di PT PLN

Dicari kemana-mana, ternyata Yuddy SW udah jadi GM di PLN. The rising star juga kawan segenerasi masa SMA ini top juga karirnya. Berikut kutipan beritanya di KOMPAS edisi 14 September 2005 yang lalu. Kita semua tentu saja ikut bangga .....

############################################################################

Potensi Listrik dari Panas Bumi

Tidak berbeda dengan pembangkit listrik lainnya yang bertenaga uap, gas, atau diesel, Pembangkit Listrik tenaga Panas Bumi (PLTP) menggunakan tekanan uap air untuk menggerakkan turbin. Hanya saja uap air yang dibutuhkan sudah diperoleh langsung dari perut bumi. "Seolah-olah terdapat boiler (perebus air) di dalam perut bumi," kata Yuddy Setyo Wicaksono, general manager PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Kamojang.

Uap air pada dasarnya terbentuk dari penguapan air di dalam perut Bumi. Energi panas yang dimiliki uap air berasal dari magma bertemperatur lebih dari 1.200 derajat Celcius. Panasnya mengalir melalui lapisan batuan kedap air di atasnya yang disebut bedrock. Di atas bedrock itulah terdapat lapisan aquifier berisi air yang berasal dari akumulasi rembesan air hujan.

Air yang dipanaskan pada suhu tinggi cenderung menguap dan bergerak ke atas karena berat jenisnya menurun. Tapi, karena di atas lapisan aquifier terdapat lapisan caprock yang juga kedap air, maka uap air terkurung dan membentuk reservoir uap bertekanan tinggi.

Pindah Jurusan masa SMA

Oleh : Tri Budi Yuswantoro


Kalau teman kita Iwan Sams memiliki buku diary waktu di SMA 2 Purwokerto sehingga bisa menggambarkan secara tepat terutama tanggal kejadiannya, saya rasa teman yang lain sebetulnya memiliki banyak juga kenangan.

Hanya saja mungkin secara detail tidak mudah untuk dituangkan ke dalam tulisan. Kalau untuk obrolan saya yakin tidak ada deh selesainya.

Saya mencoba menulis sedikit kenangan yang ada hubungannya dengan perubahan penjurusan dari IPA/ IPS menjadi A1 (Fisika), A2 (Biologi) dan A3 (Sosial). Penjurusan tersebut ditentukan berdasarkan prestasi pada saat kelas 1 SMA.

Waktu kelas 1-4 tahun 1984, saya merasakan bahwa prestasi saya biasa biasa saja, malahan untuk mata pelajaran IPA sangat rendah. Makanya saya tidak heran, begitu naik kelas 2 maka saya masuk jurusan A3 (Sosial), kalau ngga salah 2 Sos 2 (agak lupa soalnya ngga ada diarynya sih).

Saya sih biasa biasa saja, namun ayah saya (almarhum) kurang suka kalau saya masuk A3. Ayah menginginkan saya untuk menjadi tukang insinyur (pinjam istilah si Dul), dan kecil harapan itu terwujud kalau saya tetap di A3.

Berhubung tahun pelajaran 1985/1986 sudah dimulai saya tetap masuk di kelas 2 Sos 2. Saya sudah mendapatkan pelajaran Sosial dan berkenalan dengan anak anak 2 Sos 2. Sampai pada suatu hari (lupa juga, kayanya hampir sebulan atau beberapa minggu lah), saya diminta pihak sekolah untuk pindah di kelas A2 (Biologi).

Saya tidak tahu persis apakah ayah saya yang mengurus kepindahan itu, karena hal itu tidak saya tanyakan dan saya cuek (menurut) saja. Sejak itu saya pindah di kelas 2 Bio 3 yang kelasnya terletak di sebelah barat lapangan sepak bola (kalau ada yg pelajaran olah raga kita bisa melihat he he he).

Singkat cerita , walaupun saat ini bidang tugas saya jauh dari jurusan Biologi malahan benar benar bidang Sos, tapi saya tidak menyesali te lah masuk jurusan itu. Malahan saya harus bersyukur ada hikmah yang dapat diambil dari peristiwa itu (semoga bisa saya ceritakan).

Hanya saja saya harus minta maaf ke ayah karena tidak bisa memenuhi keinginan beliau menjadi insinyur, tapi beliau mengerti kok.

Kutipan Diary masa SMA, 9 Maret 1987

Waduh, bertahun-tahun telah berlalu tanpa terasa,

Kebetulan hari Minggu lalu aku bongkar-bongkar gudang. Lho, kok si hitam nongol. Si hitam adalah julukan yang aku berikan untuk buku diaryku semasa SMA dulu. Kubuka-buka, dan akupun tenggelam dalam nostalgia panjang masa SMA.

Karena sudah berpuluh tahun berlalu, biarlah kubagikan saja untuk teman- teman di milis ini. Siapa tahu yang juga sama doyannya berbagi denganku.

9 Maret 1987
Hallo hitam selamat malam. Pagi tadi, seperti biasa kami upacara bendera. Aku sudah tidak lagi menjadi petugasnya waktu masih kelas 2 dulu. Udah pensiun. Apalagi sebentar lagikan aku ujian terakhir buat Ebtanas, dan kemudian Sipenmaru. Wah, mau kemana ya setelah lulus SMA nanti. Maunya sih ke ITB Bandung, tetapi rangkingku di kelas cuma rangking 5. Bagaimana tuh ?

Tadi pagi ada pembagian hadiah perlombaan yang diadakan untuk memperingati HUT SMA 2, almamaterku tercinta yang ke 37. Wah, aku bersekolah di sekolah tua juga ya ?

Kejadian menarik hari ini adalah kedatangan dua orang teman masa kecilku waktu SD dulu. Aku kan pernah sekolah dua tahun, kelas IV dan kelas V SD di Purwokerto yaitu di SD Purwokerto Kulon III. Nama temanku itu Puguh (sekarang sekolah di SMA 1) dan satunya lagi Wandi (yang jadi calon guru dan sekolah di SPG Negeri).

Wanti dan Puguh sore tadi datang dan bercerita bahwa teman-teman SD Purwokerto Kulon III angkatan 1981 (lulus) tanggal 28 Maret 1987 akan mengadakan reuni pertama. Kan sudah enam tahun lewat. Demikian kata mereka. Wah, aku sih Oke saja, sembari membayangkan beberapa teman yang tentunya sudah remaja semua.

Namun setelah mereka pulang, baru aku sadari bahwa aku belum tentu bisa hadir soalnya tabrakan dengan jadwal Bimbingan Test ku di Neutron Club. Kan itu penting juga. Apalagi ada Try Out segala. Jam 19.00 tadi malam, Puguh telepon katanya ada rapat di rumahnya Sri
Pangastuti. Aku tidak bisa hadir soalnya ada PR yang belum kuselesaikan.

Gimana ya ? Datang apa tidak ya ? Reuni selalu penting bagiku. Karena tentu menyenangkan bertemu dengan teman-teman lama. Apalagi kalau ketemu Ragil yang pernah gelut denganku pas kelas IV SD. Kabarnya dia cuma sekolah sampai lulus SD dan memilih bekerja sebagai tukang becak sambil nyambi jadi buruh bangunan. Sudah kawin pula.

Ah, nasib orang ya ?

=========================

Nah, itu salah satu kutipannya. Nanti kukutipkan cerita soal guru-guru, soal sekolah dan sebagainya. Asyik juga. Ada tokoh-tokoh lain tentu saja : Wiko, Hardiyanto, Yuddy Flatus, dan lain sebagainya termasuk para mantan pacar, hahahaha .....