Selasa, 24 November 2009

Pecahan 2000, THP Menteri dan Bank Mutiara


Belum lama ini, bila kita berkendaraan melalui jalan tol, kita akan jarang menerima uang kembalian berupa lembaran Rp 1.000,-. Kasir pintu tol justru mengembalikan sisa tol dengan koin Rp 500,- aluminium.

Memang sejak Maret 2007, Bank Indonesia telah menerbitkan uang kertas (UK) baru, pecahan Rp 2000,- (dan rencananya jg Rp 20.000,-) lalu menarik uang kertas Rp 1000,- bergambar Pattimura untuk digantikan dengan koin baru Rp 1.000,- yang bahan metalnya lebih murah dari koin Rp 1.000,- seri Kelapa Sawit (1993 - 2000). Lalu apa arti perubahan ini?

Ya, tentu saja, dengan terbitnya pecahan Rp 2000, berarti pemangkasan harta atau aset kita dalam mata uang rupiah, menjadi separuh dari daya belinya semula, yang disebut inflasi rupiah! Anda yang tadinya cukup nyaman dengan penghasilan, katakanlah Rp 2 juta/bulan, kini dengan adanya pemangkasan tadi, anda harus menambah penghasilan dua kali lipatnya! Artinya selepas tahun 2009 nanti, penghasilan anda harus siap naik menjadi Rp 4 juta atau sekurangnya Rp 3 juta / bulan bila ingin tetap nyaman seperti hari ini.

Lalu bagaimana dengan rakyat kebanyakan yang penghasilannya kurang dari Rp 1 juta sebulan ? Ya, semakin blangsak..

Berdasarkan sejarah, ketika era Soeharto dulu, uang kertas tertinggi sejak tahun 1968-1991 adalah Rp 10.000,-. Lalu dengan alasan defisit APBN, diedarkanlah uang lembaran Rp 20.000,- seri Cengkeh/Cenderawasi h, tahun 1992. Karena nominal "aneh" ini sukses beredar, maka tak lama kemudian muncul nominal lebih tinggi lagi yaitu Rp 50.000,- bergambar Pak Harto (1993). Dan tidaklah mustahil, bila uang kertas Rp 2.000,- baru ini sukses beredar, maka Bank Indonesia akan menerbitkan uang kertas dengan nominal baru lainnya, misalnya: Rp 200.000,-; Rp 500.000,-, bahkan Rp 1 juta!

Sebab hal itu memang lazim dilakukan oleh Bank Sentral di negara berkembang. Karena ciri khas mata uang negara maju, nominal angkanya hanya tiga digit saja, seperti USA $100, Arab Saudi 200 riyal, Eropa 500 euro, Inggris 100 poundsterling; kecuali Jepang dan Korea Selatan dengan 10.000 yen dan 10.000 won, sebagai sisa sebuah trauma ekonomi pasca Perang Dunia II.

Dengan ditariknya pecahan Rp 1.000,- maka otomatis uang receh terkecil adalah Rp 500,-. Sedangkan koin pecahan Rp 100,- dan Rp 200,- akan lenyap dengan sendirinya, rusak atau dicuekin. Hal ini lazim terjadi pasca terbitnya uang baru, ketika pecahan Rp 1,- dan Rp 2,- lenyap pada tahun 1975, sepuluh tahun kemudian Rp 5,- dan Rp 10,- lenyap di tahun 1985, lalu Rp 25,- dan Rp 50,- lenyap di tahun 1995. Kini pada 2009 ini pecahan Rp 100,- dan Rp 200,- sudah kehilangan daya belinya. Rakyat dieksploitasi untuk memacu kegiatan ekonominya, dan dipaksa merelakan hilangnya sebagian jerih payah mereka.

Perhatikan akibatnya. Bila tadinya sebutir telur ayam negeri seharga Rp 10,-/butir di tahun 1975, lalu naik menjadi Rp 100,-/butir di tahun 1985, maka pemegang uang rupiah telah kehilangan asetnya 1 digit dari Rp 10,- ke Rp 100,-. Artinya si pemegang uang kertas harus mencari sepuluh kali lipat lebih banyak lagi lembaran rupiah agar bisa membeli telur yang sama. Bisa jadi suatu hari nanti harga sebutir telur ayam negeri harus dibayar dengan lembaran Rp 10.000,-/butir, tinggal menunggu waktu saja.

Untuk mengakali inflasi ini, Bank Indonesia cukup menambah angka nol pada uang kertas baru. Inilah riba Zero Sum Game!

Sampai kapan permainan riba ini akan berakhir? Rakyat yang kalah gesit dalam mengimbangi permainan ini pasti semakin terpuruk kondisinya dan... tambah blangsaaks, kasihan rakyat miskin.

Di sisi lain, gaji para pejabat tinggi dinaikkan dgn drastis, dan Menkeu telah menyatakan pula bhw dana APBN 2010 siap utk membayar kenaikan tsb. Padahal THP skrg sdh di atas 100 jt, ditambah dana taktis tiap menteri lebih dr 2 Milyar tiap bulan. Penerbitan pecahan uang Rp. 2000 tdk ada pengaruhnya sm skl bagi mereka. Kasihan rakyat miskin...

Menurut data di sebuah TV, andai menteri kita jumlahnya hanya 15 orang, seperti di Amerika, dgn THP yg lama, maka negara akan bs menghemat sedikitnya 7 Trilyun tiap tahun. Laa ini kok malah THP-nya dinaikkan! Blm lagi kalau mengingat outcomes dr para menteri tsb, duuuuh., nyuwun pangapunten Gusti.. Amerika yg segede T-Rex yg urusannya sedunia aja cuma 15 menteri, kita kok bs smp 34 menteri seh?? Gmn tuh Det??

Yg jgn dilupakan jg, pemerintah dengan gampangnya mengucurkan 6,7 Trilyun ke Bank Century, jauh dari angka 1,3 T yg telah disetujui DPR. Salah satu tujuan bailout itu adalah utk mengembalikan dana deposan yg di bawah 2 Milyar. Ironisnya, para deposan dimaksud ternyata tetep saja gigit jari dan menjerit karena dananya ditelan bank yg telah dimanupulasi namanya menjadi Bank Mutiara.

Para penegak hukum terkait terkesan mandul, hanya Robert Tantular saja yg diperkarakan. Ditambah pula dgn DPR yg ogah2an dgn hak angket Bank Century, dgn dalih: menunggu hasil audit BPK (yg skrg dikomandani oleh mantan Dirjen kita).

Buat Sri Gayatri, teruslah berjuang!

Ditulis oleh : Donny Cahyo Nugroho di Milis Deltu

Tidak ada komentar: